Mengunjungi Makam Nenek Moyang: Kearifan Lokal yang harus Diwarisi
Sungguh indah berbicara dengan orang yang mengispirasi kita, entah itu yang masih ada bersama kita, maupun yang tidak ada bersama kita, di sini, saat ini. Hal seperti inilah yang mendominasi pemikiran dan perasaan saya ketika saya selalu dibiasakan oleh orang tuaku untuk mengunjungi makam para leluhur pada tanggal 2 nopember setiap tahunnya atau pada saat tertentu manakala saya hendak meninggalkan kampung pada waktu yang lama dan juga saat saya berlibur ke kampung setelah lama tidak mengunjungi kampung halamanku.
Sungguh suatu kedamaian tersendiri saya dapat bila saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke makam para leluhur. Sudah seperti biasanya, kegiatan rutin yang dilakukan kalau berkunjung ke makam itu ialah, membersihkan makam, dan menyempatkan sedikit waktu untuk "berdoa" di makam itu. Walaupun sederetan pemilik makam yang dikunjungi itu tidak saya kenal, dan tidak pernah bertemu saya secara langsung, tapi saya yakin bahwa mereka selalu ada dan tetap berada bersama saya sampai saat ini. Aku hanya mendengar nama mereka dari cerita orang tuaku dan juga cerita-cerita orang tua di kampungku. Biasanya saat kami membersihkan makam, selalu saja ada cerita dari orang-orang tua tentang keunikan atau juga kasih sayang yang luar biasa yang bisa dikenang dari para pemilik makam yang kebanyakan saya tidak kenal itu. Orang di kampungku menyebut mereka itu adalah orang-orang zaman dulu, Gae sebao dalam sebutan khas orang di kampung.
Mengunjungi makam orang tua atau para leluhur secara sederhana dapat dikatakan sebagai bentuk yang konyol, bagi orang yang tidak memahami eksistensi yang sebenarnya dari kegiatan mengunjungi makam ini. Namun bila itu dipikirkan dengan bijaksana, sesungguhnya kunjungan itu membuktikan betapa besarnya hubungan familiar dan jalinan kasih setiap insan yang terkenang dalam perjumpaan jiwa. Roh-lah yang mempertemukan setiap insan, yang tidak kini tidak bersua muka lagi. Ada semacam kedekatan rohani dan kasih sayang yang tidak bisa terlepaspisahkan antara saya yang sekarang ini masih berziarah di dunia dengan para leluhur yang telah berpulang ke keabadian. Tidak dapat disangkal lagi bahwa hal ini semacam suatu hubungan darah yang tidak terpisahkan oleh batas-batas zaman, waktu dan tempat.
Aku sendiri pernah mebayangkan hal yang aneh. kog aku harus rajin bersih makam dan mesti berdoa di makam yang letaknya di kampung tua yang terkesan angker itu?? namun secara pribadi, pikiran itu berubah sejalan dengan perubahan perkembangan dan pertumbuhanku sebagai manusia yang beriman. Aku paham benar yang dikatakan dalam Kitab Suci agamaku, bahwa Aku (Yesus) meninggal dan dibangkitkan dari antara orang mati dan naik ke surga untuk menyediakan tempat bagi para pengikutNya kelak. Harapan ini terpatri indah dalam hati keberimananku. Aku harus yakin bahwa para leluhurku meninggal dunia untuk menuju ke tempat keabadian yang mana di sana tidak ada lagi sakit dan disakiti, perang dan permusuhan, kekejian dan kemiskinan, kelaparan dan buta huruf, kemunafikan dan kerusakan lingkungan hidup. korupsi, kolusi dan nepotisme, serta sederetan kata sifat dan kerja negatif yang tidak dikehendaki. Yah, di sana ada langit dan bumi yang baru, yang mana di dalamnya tidak ada lagi kawin dan dikawinkan, yang ada hanyalah cinta universal itu bermekaran dan menghiasi kehidupan orang-orang yang berada di dalamnya. Perdamaian, cinta kasih, kebersamaan, keutuhan ciptaan, keadilan, kegembiraan yang melluap-luap, kebebasan, dan harapan kebaikan lainnya yang mungkin diringkas dalam kata keselamatan atau kebahagiaan.
Saat aku menulis coretan ini, tepatnya menjelang tanggal 2 Nopember 2012, dan aku berada di Jakarta, jauh dari kampung halamanku, aku hanya mampu mengenang dan kembali berkisah tentang kisah hidupku saat kanak-kanak yang selalu setia di bulan Nopember untuk mengunjungi makam para leluhur bersama keluarga besar. Aku ingat benar kala itu, kami selalu mengunjungi makam bersama seluruh keluarga besar. Di tempat itu, kami membersihkan makam. tak pelak, canda gurau di antara kami menghilangkan kebisuan di wilayah makam yang terletak di kampung lama yang tidak berpenghuni itu. DI sela-sela kegiatan ini, orang yang tertua dalam keluarga selalu menceritakan pengalaman mereka saat masih bersama arwah yang makamnya kami bersihkan itu. Aku ingat benar bahwa, aku selalu bertanya kepada ne ngga'e (mama tua: saudari dari bapakku) dan ema nggae' (saudara tertua dari bapakku). mereka selalu dengan setia menceritakan riwayat hidup dan keunikan para leluhur ketika hidup bersama mereka. Setelah kegiatan "kebersihan" itu selesai dikerjakan, kami diajak untuk berdiam diri dan berdoa sejenak. Biasanya yang memimpin doa itu ialah bapakku dan ema ngga'e bertindak sebagai orang tua yang berbicara kepada leluhur dalam bahasa daerah. Doa itu diawali dengan pembicaraan dalam bahasa daerah yang diperankan oleh ema ngga'e lalu dilanjutkan dengan doa liturgis oleh bapakku. Sungguh aku mengingat semuanya itu. Ingin rasanya aku kembali ke kampung halamanku saat seperti ini agar berkumpul bersama keluarga besar untuk mengunjungi makam para leluhur.
Kini, aku paham benar bahwa, kedekatan hati antara orang yang masih hidup dengan yang sudah berpulang itu sangat erat. Aku belajar dari keluarga besarku, betapa mereka selalu merasakan kasih dan kedekatan dengan leluhur yang telah tiada, sekalipun orang itu tidak sempat berada ersama mereka. Aku pun terbawa oleh perasaan ini, dan kini bagiku, itu sudah merupakan suatu keyakinan, yah, saya yakini itu. di ujung coretan ini aku hanya bisa berdoa dan terus berdoa agar Para leluhur menemukan keselamatan dan memohon bantuan doa dari leluhur agar mendoakan kami yang kini masih berkelana di dunia ini. Saya yakin Doa mereka sangat besar pengaruhnya untuk hidup dan keberadaan insan yang masih berziarah di dunia. Amin (Jkt menjelang 2 Nopember 2012).
Sungguh suatu kedamaian tersendiri saya dapat bila saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke makam para leluhur. Sudah seperti biasanya, kegiatan rutin yang dilakukan kalau berkunjung ke makam itu ialah, membersihkan makam, dan menyempatkan sedikit waktu untuk "berdoa" di makam itu. Walaupun sederetan pemilik makam yang dikunjungi itu tidak saya kenal, dan tidak pernah bertemu saya secara langsung, tapi saya yakin bahwa mereka selalu ada dan tetap berada bersama saya sampai saat ini. Aku hanya mendengar nama mereka dari cerita orang tuaku dan juga cerita-cerita orang tua di kampungku. Biasanya saat kami membersihkan makam, selalu saja ada cerita dari orang-orang tua tentang keunikan atau juga kasih sayang yang luar biasa yang bisa dikenang dari para pemilik makam yang kebanyakan saya tidak kenal itu. Orang di kampungku menyebut mereka itu adalah orang-orang zaman dulu, Gae sebao dalam sebutan khas orang di kampung.
Mengunjungi makam orang tua atau para leluhur secara sederhana dapat dikatakan sebagai bentuk yang konyol, bagi orang yang tidak memahami eksistensi yang sebenarnya dari kegiatan mengunjungi makam ini. Namun bila itu dipikirkan dengan bijaksana, sesungguhnya kunjungan itu membuktikan betapa besarnya hubungan familiar dan jalinan kasih setiap insan yang terkenang dalam perjumpaan jiwa. Roh-lah yang mempertemukan setiap insan, yang tidak kini tidak bersua muka lagi. Ada semacam kedekatan rohani dan kasih sayang yang tidak bisa terlepaspisahkan antara saya yang sekarang ini masih berziarah di dunia dengan para leluhur yang telah berpulang ke keabadian. Tidak dapat disangkal lagi bahwa hal ini semacam suatu hubungan darah yang tidak terpisahkan oleh batas-batas zaman, waktu dan tempat.
Aku sendiri pernah mebayangkan hal yang aneh. kog aku harus rajin bersih makam dan mesti berdoa di makam yang letaknya di kampung tua yang terkesan angker itu?? namun secara pribadi, pikiran itu berubah sejalan dengan perubahan perkembangan dan pertumbuhanku sebagai manusia yang beriman. Aku paham benar yang dikatakan dalam Kitab Suci agamaku, bahwa Aku (Yesus) meninggal dan dibangkitkan dari antara orang mati dan naik ke surga untuk menyediakan tempat bagi para pengikutNya kelak. Harapan ini terpatri indah dalam hati keberimananku. Aku harus yakin bahwa para leluhurku meninggal dunia untuk menuju ke tempat keabadian yang mana di sana tidak ada lagi sakit dan disakiti, perang dan permusuhan, kekejian dan kemiskinan, kelaparan dan buta huruf, kemunafikan dan kerusakan lingkungan hidup. korupsi, kolusi dan nepotisme, serta sederetan kata sifat dan kerja negatif yang tidak dikehendaki. Yah, di sana ada langit dan bumi yang baru, yang mana di dalamnya tidak ada lagi kawin dan dikawinkan, yang ada hanyalah cinta universal itu bermekaran dan menghiasi kehidupan orang-orang yang berada di dalamnya. Perdamaian, cinta kasih, kebersamaan, keutuhan ciptaan, keadilan, kegembiraan yang melluap-luap, kebebasan, dan harapan kebaikan lainnya yang mungkin diringkas dalam kata keselamatan atau kebahagiaan.
Saat aku menulis coretan ini, tepatnya menjelang tanggal 2 Nopember 2012, dan aku berada di Jakarta, jauh dari kampung halamanku, aku hanya mampu mengenang dan kembali berkisah tentang kisah hidupku saat kanak-kanak yang selalu setia di bulan Nopember untuk mengunjungi makam para leluhur bersama keluarga besar. Aku ingat benar kala itu, kami selalu mengunjungi makam bersama seluruh keluarga besar. Di tempat itu, kami membersihkan makam. tak pelak, canda gurau di antara kami menghilangkan kebisuan di wilayah makam yang terletak di kampung lama yang tidak berpenghuni itu. DI sela-sela kegiatan ini, orang yang tertua dalam keluarga selalu menceritakan pengalaman mereka saat masih bersama arwah yang makamnya kami bersihkan itu. Aku ingat benar bahwa, aku selalu bertanya kepada ne ngga'e (mama tua: saudari dari bapakku) dan ema nggae' (saudara tertua dari bapakku). mereka selalu dengan setia menceritakan riwayat hidup dan keunikan para leluhur ketika hidup bersama mereka. Setelah kegiatan "kebersihan" itu selesai dikerjakan, kami diajak untuk berdiam diri dan berdoa sejenak. Biasanya yang memimpin doa itu ialah bapakku dan ema ngga'e bertindak sebagai orang tua yang berbicara kepada leluhur dalam bahasa daerah. Doa itu diawali dengan pembicaraan dalam bahasa daerah yang diperankan oleh ema ngga'e lalu dilanjutkan dengan doa liturgis oleh bapakku. Sungguh aku mengingat semuanya itu. Ingin rasanya aku kembali ke kampung halamanku saat seperti ini agar berkumpul bersama keluarga besar untuk mengunjungi makam para leluhur.
Kini, aku paham benar bahwa, kedekatan hati antara orang yang masih hidup dengan yang sudah berpulang itu sangat erat. Aku belajar dari keluarga besarku, betapa mereka selalu merasakan kasih dan kedekatan dengan leluhur yang telah tiada, sekalipun orang itu tidak sempat berada ersama mereka. Aku pun terbawa oleh perasaan ini, dan kini bagiku, itu sudah merupakan suatu keyakinan, yah, saya yakini itu. di ujung coretan ini aku hanya bisa berdoa dan terus berdoa agar Para leluhur menemukan keselamatan dan memohon bantuan doa dari leluhur agar mendoakan kami yang kini masih berkelana di dunia ini. Saya yakin Doa mereka sangat besar pengaruhnya untuk hidup dan keberadaan insan yang masih berziarah di dunia. Amin (Jkt menjelang 2 Nopember 2012).